Di salah satu TV Swasta Nasional, terjadi sebuah debat panas yang terjadi antara Rocky Gerung dan Silfester Matutina tentang kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dimana debat tersebut memuncak ketika Silfester menantang Rocky Gerung untuk membuktikan pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh presiden. Dalam momen tersebut, Rocky mengangkat sebuah asas hukum yang mungkin tidak semua orang awam ketahui, yakni Pacta Sunt Servanda. Sepertinya pada artikel kali ini, sangat menarik bagi saya untuk mengangkat tema tersebut. Kita bahas ya?!
Apa Itu Pacta Sunt Servanda?
Pacta Sunt Servanda berasal dari bahasa Latin, secara harfiah berarti “perjanjian harus ditepati.”
Rocky sebenarnya ingin menjelaskan bahwa seorang pemimpin—dalam hal ini Presiden Joko Widodo—diikat oleh janji-janjinya sendiri, termasuk janji kampanye dan sumpah jabatan yang ia ucapkan ketika dilantik sebagai kepala negara. Dalam perspektif ini, ketika janji-janji tersebut dilanggar atau tidak direalisasikan, maka ia dianggap melanggar asas Pacta Sunt Servanda, yang merupakan dasar dari kewajiban moral dan hukum untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat.
Rocky mengajak masyarakat untuk melihat bahwa perjanjian, dalam bentuk apa pun—termasuk janji politik—bukan sekadar kata-kata. Mereka adalah kontrak sosial yang mengikat, dan ketidakmampuannya untuk ditepati, pada level apa pun, mencerminkan ketidakpatuhan pada aturan dasar yang sudah ada dalam hukum perdata, yaitu Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Karena asas Pacta Sunt Servanda ini sejatinya sejalanan dengan pasal tersebut, maka asas ini menguatkan bahwa perjanjian atau janji memiliki kekuatan hukum yang sama kuatnya dengan undang-undang yang mengikat.
Dari konteks debat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan yang lebih luas tentang pentingnya Pacta Sunt Servanda dalam hukum perdata, terutama dalam kasus perjanjian yang sah antara individu maupun entitas bisnis. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata secara jelas mencerminkan asas ini, memberikan landasan hukum bagi semua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian untuk menjunjung tinggi komitmen yang telah dibuat. Dalam artikel ini saya (baca: penulis) ingin mengeksplorasi lebih dalam bagaimana asas Pacta Sunt Servanda diimplementasikan dalam konteks hukum perjanjian di Indonesia, dengan fokus pada Pasal 1338 ayat (1) sebagai rujukan utamanya.
Kaitan Asas Pacta Sunt Servanda dengan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata
Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum perjanjian yang diterapkan di berbagai negara dengan sistem hukum perdata, termasuk Indonesia. Sebagaimana yang saya jelaskan di awal, secara harfiah, pacta sunt servanda berarti “perjanjian harus ditepati,” dan prinsip ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah harus dipatuhi oleh para pihak yang terlibat. Asas ini mencerminkan nilai keadilan dan kepastian hukum, yang di dalamnya terkandung penghormatan terhadap kesepakatan yang telah dicapai, serta komitmen untuk melaksanakannya dengan itikad baik.
Di Indonesia, asas pacta sunt servanda diimplementasikan secara eksplisit dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Bunyi dari pasal ini adalah:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Makna pasal ini sangat jelas: setiap perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian (yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata) akan mengikat para pihak seperti layaknya undang-undang. Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat secara sah tidak hanya sekadar kesepakatan biasa, tetapi juga memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang yang wajib dipatuhi oleh para pihak yang terlibat. Kaitan inilah yang menunjukkan penerapan pacta sunt servanda dalam hukum Indonesia.
Berikut adalah penjelasan lebih mendetail tentang kaitan antara pacta sunt servanda dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
- Kekuatan Mengikat Perjanjian
- Pasal 1338 ayat (1) menegaskan bahwa perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Artinya, setelah para pihak sepakat dan menandatangani suatu perjanjian, mereka wajib untuk menjalankannya sebagaimana jika itu merupakan hukum yang mengikat mereka secara langsung.
- Hal ini sejalan dengan prinsip pacta sunt servanda, yang mengharuskan setiap perjanjian yang telah dibuat dipatuhi dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Para pihak yang terikat dalam kontrak tidak boleh sembarangan melanggar kesepakatan yang telah mereka setujui, karena perjanjian tersebut memiliki konsekuensi hukum.
- Kepastian Hukum
- Asas pacta sunt servanda memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Ketika suatu perjanjian dibuat secara sah, masing-masing pihak tahu bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memperkuat prinsip ini dengan memberikan perlindungan hukum kepada perjanjian yang sah dan memastikan bahwa perjanjian tersebut akan dihormati oleh pengadilan jika terjadi perselisihan.
- Kepastian hukum ini penting karena dalam setiap perjanjian, para pihak mengharapkan bahwa kesepakatan yang telah dibuat akan diakui dan dipatuhi, baik oleh pihak lawan maupun oleh hukum yang berlaku.
- Keadilan dalam Hukum Perjanjian
- Pacta sunt servanda juga mencerminkan nilai keadilan dalam hukum perjanjian. Ketika para pihak sepakat untuk membuat suatu perjanjian, mereka melakukannya berdasarkan itikad baik dan saling percaya bahwa kedua belah pihak akan memenuhi komitmennya. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata melindungi keadilan ini dengan memastikan bahwa kesepakatan yang dibuat secara sah akan diakui sebagai aturan hukum yang mengikat.
- Apabila salah satu pihak tidak mematuhi atau melanggar perjanjian tersebut, pihak lain berhak untuk menuntut hak-haknya berdasarkan ketentuan hukum yang diakui, dan pengadilan akan menegakkan perjanjian tersebut.
- Syarat Sahnya Perjanjian dan Implikasinya
- Pasal 1320 KUH Perdata mengatur empat syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan, kecakapan hukum, hal tertentu yang diperjanjikan, dan sebab yang halal. Jika perjanjian memenuhi keempat syarat ini, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat (1), perjanjian tersebut akan mengikat para pihak sebagai undang-undang. Di sinilah pacta sunt servanda memiliki peran penting: jika semua syarat sah terpenuhi, maka perjanjian tidak boleh dilanggar atau dibatalkan sepihak.
- Jika terjadi pelanggaran atas perjanjian yang telah memenuhi syarat sahnya, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut pemenuhan perjanjian atau bahkan ganti rugi, sesuai dengan ketentuan dalam hukum perdata.
- Penegakan Asas dalam Kasus Konkret
- Dalam praktiknya, penegakan asas pacta sunt servanda melalui Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sering kali diuji dalam perselisihan kontrak. Misalnya, ketika salah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan dasar bahwa perjanjian yang sah tersebut harus dipatuhi oleh semua pihak.
- Kasus-kasus di pengadilan yang menyangkut pelanggaran kontrak sering kali berfokus pada apakah perjanjian tersebut telah dibuat secara sah dan apakah salah satu pihak memiliki dasar hukum yang sah untuk tidak memenuhi perjanjian tersebut. Jika tidak ada dasar hukum yang sah untuk pelanggaran tersebut, pengadilan akan cenderung menegakkan asas pacta sunt servanda dan menghukum pihak yang melanggar.
Kesimpulan
Asas pacta sunt servanda dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam memastikan kepastian hukum, keadilan, dan stabilitas dalam pelaksanaan perjanjian di Indonesia. Melalui pasal ini, perjanjian yang sah memiliki kekuatan hukum yang mengikat layaknya undang-undang, dan para pihak wajib untuk melaksanakan setiap ketentuan yang telah mereka sepakati. Jika salah satu pihak melanggar, pihak lain berhak menuntut penegakan perjanjian atau ganti rugi sesuai hukum yang berlaku. Prinsip ini tidak hanya memberikan landasan bagi para pelaku bisnis, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum perdata yang adil dan konsisten.