Di era digital yang serba cepat dan penuh tekanan, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sering kali menjadi tantangan besar bagi banyak orang. Karyawan di seluruh dunia, terutama dari generasi muda seperti Gen Z, mulai menunjukkan kecenderungan baru yang disebut sebagai “quiet quitting”. Meski istilah ini baru populer belakangan, fenomenanya bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Quiet quitting merujuk pada situasi di mana karyawan memilih untuk melakukan pekerjaan mereka sebatas yang diperlukan tanpa melakukan hal lebih dari apa yang diharapkan. Mereka secara mental melepaskan diri dari pekerjaan tanpa benar-benar berhenti atau resign.
Apa Itu Quiet Quitting?
Quiet quitting adalah respons pasif terhadap tekanan kerja yang berlebihan, ekspektasi yang tidak realistis, atau bahkan kekecewaan terhadap kurangnya penghargaan dan pengakuan di tempat kerja. Karyawan yang terlibat dalam quiet quitting biasanya tidak akan secara langsung mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Sebaliknya, mereka hanya akan melakukan pekerjaan minimum yang dibutuhkan untuk mempertahankan pekerjaan mereka tanpa berusaha lebih atau terlibat lebih jauh. Mereka hadir secara fisik, tetapi secara emosional dan mental, mereka telah “berhenti” dari pekerjaan tersebut.
Fenomena ini berbeda dengan karyawan yang disengaja dan terlibat aktif dalam pekerjaan mereka. Quiet quitters akan menghindari tugas-tugas tambahan, tidak akan bekerja lembur kecuali benar-benar diperlukan, dan umumnya tidak berpartisipasi dalam kegiatan kerja di luar jam kantor. Mereka melakukan apa yang tertulis dalam deskripsi pekerjaan mereka dan tidak lebih dari itu.
Mengapa Quiet Quitting Terjadi?
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan quiet quitting antara lain:
Beban Kerja yang Berlebihan: Ketika karyawan merasa bahwa mereka dibebani dengan pekerjaan yang melebihi kemampuan mereka atau yang tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima, mereka mungkin memilih untuk menarik diri secara perlahan.
Kurangnya Penghargaan dan Pengakuan: Jika upaya dan kontribusi karyawan tidak diakui atau dihargai oleh atasan atau perusahaan, mereka mungkin kehilangan motivasi untuk memberikan yang terbaik.
Burnout: Kondisi kelelahan mental dan emosional yang disebabkan oleh stres kerja yang berkepanjangan bisa membuat karyawan merasa tidak punya energi atau keinginan untuk terlibat penuh dalam pekerjaan mereka.
Keseimbangan Kerja-Kehidupan: Generasi muda, terutama Gen Z, cenderung menempatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sebagai prioritas utama. Jika pekerjaan mereka mengganggu keseimbangan ini, mereka mungkin memilih untuk quiet quitting sebagai cara mempertahankan batasan tersebut.
Ketidakjelasan Jalur Karier: Ketidakpastian mengenai perkembangan karier atau kurangnya peluang untuk naik jabatan bisa membuat karyawan merasa tidak ada gunanya untuk bekerja keras.
Quiet Quitting dan Perspektif Hukum Ketenagakerjaan
Fenomena quiet quitting menimbulkan berbagai pertanyaan tentang bagaimana hukum ketenagakerjaan memandang dan menangani situasi ini. Dari sudut pandang hukum, quiet quitting dapat dianggap sebagai masalah performa, tetapi implikasinya bisa jauh lebih kompleks.
1. Hak dan Kewajiban Karyawan
Setiap karyawan memiliki hak untuk bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang disepakati dalam kontrak kerja mereka. Quiet quitting terjadi ketika karyawan memilih untuk mematuhi kontrak kerja secara ketat, tanpa berusaha untuk melebihi ekspektasi yang tidak tercantum dalam kontrak. Dalam hal ini, selama karyawan memenuhi kewajiban mereka yang tertulis, mereka tidak melanggar hukum.
Namun, perusahaan sering kali mengharapkan karyawan untuk menunjukkan inisiatif, fleksibilitas, dan kesediaan untuk mengambil peran lebih besar ketika diperlukan. Harapan ini sering kali tidak tertulis, sehingga sulit untuk menegakkannya secara hukum jika seorang karyawan memilih untuk hanya melakukan pekerjaan minimum.
2. Performa dan Evaluasi Kinerja
Quiet quitting dapat mempengaruhi penilaian kinerja karyawan. Dari perspektif hukum, jika karyawan secara konsisten menunjukkan performa di bawah standar yang diharapkan oleh perusahaan, hal ini dapat menyebabkan tindakan disipliner, termasuk kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, penting untuk diingat bahwa tindakan PHK harus didasarkan pada bukti bahwa karyawan gagal memenuhi standar kinerja yang telah dikomunikasikan secara jelas dan adil.
Jika tidak ada standar kinerja yang jelas atau karyawan tidak diberikan umpan balik yang memadai, maka tindakan PHK dapat diperdebatkan dari segi hukum. Karyawan memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan transparan, dan setiap tindakan disipliner harus sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku.
3. Isu Burnout dan Tanggung Jawab Perusahaan
Burnout adalah salah satu penyebab utama quiet quitting. Dari sudut pandang hukum, perusahaan memiliki kewajiban untuk memastikan kesehatan dan keselamatan karyawan mereka, termasuk kesehatan mental. Jika quiet quitting adalah hasil dari burnout yang disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan atau lingkungan kerja yang tidak sehat, perusahaan dapat dianggap lalai dalam memenuhi tanggung jawab mereka.
Undang-undang ketenagakerjaan di banyak negara mengharuskan perusahaan untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat. Ini mencakup pencegahan terhadap kelelahan kerja yang ekstrem. Karyawan yang mengalami burnout akibat kondisi kerja yang tidak manusiawi mungkin memiliki dasar hukum untuk mengajukan keluhan atau menuntut perbaikan kondisi kerja.
4. Kontrak Kerja dan Kewajiban Ekstra
Banyak perusahaan yang berharap karyawan untuk bekerja lebih dari yang tercantum dalam kontrak kerja mereka, misalnya dengan mengambil tugas tambahan atau bekerja lembur tanpa bayaran ekstra. Dalam konteks quiet quitting, karyawan mungkin menolak untuk melakukan tugas di luar deskripsi kerja mereka.
Secara hukum, kontrak kerja adalah acuan utama untuk menentukan tugas dan kewajiban karyawan. Jika perusahaan menuntut karyawan untuk bekerja di luar deskripsi pekerjaan tanpa kompensasi yang memadai, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran kontrak. Karyawan memiliki hak untuk menolak tugas tambahan yang tidak termasuk dalam kontrak kerja mereka, terutama jika tugas tersebut tidak diimbangi dengan kompensasi yang adil.
5. Peran Serikat Pekerja
Serikat pekerja dapat memainkan peran penting dalam menangani quiet quitting. Mereka dapat membantu karyawan menegosiasikan kondisi kerja yang lebih baik, serta memberikan perlindungan hukum jika terjadi konflik dengan perusahaan. Serikat pekerja juga dapat mengadvokasi perubahan kebijakan perusahaan yang mendukung keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi, serta mencegah burnout.
Karyawan yang merasa terdorong untuk quiet quitting karena kondisi kerja yang buruk dapat mencari dukungan dari serikat pekerja untuk menyelesaikan masalah mereka secara kolektif. Ini bisa melibatkan negosiasi ulang kontrak kerja, perbaikan kondisi kerja, atau penyelesaian sengketa secara hukum.
Dampak Quiet Quitting bagi Perusahaan dan Karyawan
Quiet quitting memiliki dampak signifikan baik bagi perusahaan maupun karyawan. Dari perspektif perusahaan, quiet quitting bisa mengakibatkan penurunan produktivitas, kurangnya inovasi, dan akhirnya kerugian finansial. Karyawan yang tidak lagi terlibat secara aktif mungkin tidak memberikan kontribusi maksimal, yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja tim dan perusahaan secara keseluruhan.
Bagi karyawan, quiet quitting bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini bisa membantu mereka mempertahankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta mencegah burnout. Namun, di sisi lain, ini bisa menghambat perkembangan karier dan menciptakan ketidakpuasan jangka panjang. Karyawan yang terus-menerus melakukan quiet quitting mungkin kehilangan kesempatan untuk naik jabatan, mendapatkan promosi, atau meningkatkan keterampilan mereka.
Kesimpulan
Quiet quitting adalah refleksi dari tantangan dan tekanan yang dihadapi oleh karyawan modern, terutama di era digital yang menuntut fleksibilitas dan keterlibatan lebih. Meskipun tidak melanggar hukum secara langsung, fenomena ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara tuntutan kerja dan hak-hak karyawan. Dari perspektif hukum ketenagakerjaan, quiet quitting membawa implikasi yang kompleks, terutama dalam hal performa kerja, kontrak, dan tanggung jawab perusahaan terhadap kesejahteraan karyawan.
Perusahaan perlu lebih peka terhadap kebutuhan karyawan, mengedepankan komunikasi yang jelas, dan menyediakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental. Sementara itu, karyawan perlu memahami hak dan kewajiban mereka, serta mencari cara untuk tetap termotivasi dan terlibat tanpa mengorbankan kesejahteraan pribadi. Dengan pendekatan yang tepat, quiet quitting bisa dihindari, menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif bagi semua pihak.